Indonesia: Obligasi Rupiah di Titik Optimal

Trenddjakarta.com, 20 September 2021 – Saat ini ada beberapa faktor katalis positif yang terus mendukung obligasi pemerintah di Indonesia, seperti dijelaskan dalam laporan IDR Rates: “Burden-sharing” a positive for IndoGB. Hal ini termasuk (i) berkurangnya ketidakpastian besaran ‘supply’ dengan berkurangnya jumlah obligasi yang akan diterbitkan di 2021, (ii) pengaturan “burden-sharing” dengan Bank Indonesia untuk tahun 2022 tahun 2021 ini berjalan secara aktif, (iii) kelebihan likuiditas domestik, dan (iv) faktor eksternal menguntungkan, yaitu suku bunga di AS yang berada di level rendah. Perkembangan-perkembangan tersebut mengakibatkan lelang obligasi mingguan dengan jumlah yang lebih kecil, yaitu Rp 21 triliun pada minggu ini bila dibandingkan dengan Rp 30-33 triliun pada awal tahun. Pemerintah juga menerbitkan $1,23 miliar dolar AS dari obligasi global bertenor 10 tahun dan 40 tahun, di mana sebagian dari dana tersebut digunakan untuk melakukan pembelian kembali obligasi pemerintah seri yang lain di pasar. Selain memanfaatkan suku bunga rendah pada saat ini, upaya penggalangan dana tersebut juga bertujuan memperpanjang jatuh tempo obligasi dengan suku bunga yang lebih rendah saat ini. Proses ‘tender offer’ untuk membeli kembali delapan obligasi yang akan jatuh tempo di 2022-2026 berlangsung hingga 17 September. Secara bersamaan, pemerintah juga menerbitkan obligasi global dengan tema ‘sustainability’ senilai 500 juta euro, dengan periode jatuh tempo pada 2034, di mana peruntukkan dana ini akan disalurkan ke program-program dengan komitmen keberlanjutan/’sustainable’. Di sisi lain yaitu di sisi permintaan, pajak penghasilan atas bunga obligasi untuk investor domestik diturunkan menjadi 10%, setara dengan tarif yang dinikmati investor asing, dalam upaya menarik lebih banyak minat ke instrumen obligasi. Imbal hasil obligasi Indonesia bertenor 10 tahun saat ini​ berada di rentang tingkat terendah pada tahun ini, yaitu di kisaran 6,05-6,15%.​

Risiko melesetnya fiskal akan dapat diatasi karena defisit fiskal Januari-Juli mencapai Rp336 triliun, atau sekitar ~2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan pencapaian pendapatan sebesar 59% dan realisasi pengeluaran 50% dari target yang dianggarkan selama setahun. Pencairan paket pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai 48% pada akhir Agustus, secara keseluruhan meningkatkan kemungkinan untuk menjaga target defisit 2021 sebesar -5,8% dari PDB. Terakhir, rekor surplus perdagangan, yang tinggi, 4,7 miliar dolar pada Agustus, akan menjadi pendorong bagi rupiah, mengingat peningkatan penghitungan transaksi berjalan pada bulan tersebut. Ekspor diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas global, meningkat 64% secara tahunan (minyak & gas 78%, pertambangan 163%), di mana angka pertumbuhan tahunan yang diakibatkan dari basis angka yang rendah. Selain itu, penurunan jumlah penderita Covid harian hingga <10% dari puncaknya juga diperkirakan memungkinkan pelonggaran bertahap pembatasan pergerakan. Kami tetap memiliki pandangan konstruktif terhadap obligasi rupiah, dengan tetap mencermati situasi perkembangan Covid, dan juga akan memperhatikan pernyataan dari beberapa lembaga pemeringkat terkait rencana pembiayaan defisit baru-baru ini, dan keadaan keuangan global (terutama tingkat suku bunga AS dan kurs dolar AS), mengingat terjadinya US tapering (pengurangan nilai pembelian aset oleh Bank Sentral AS) sudah semakin dekat.

Indeks Dolar AS (DXY) mengakhiri sesi malam hari di angka 92,5, terjebak dalam kisaran ketat antara 92,3 dan 92,9 sejak 8 September. Imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor 10-tahun menyentuh 1,26% sebanyak dua kali selama dua sesi terakhir sebelum akhirnya kembali ke 1,30%. Wall Street bergejolak, naik pada Senin, turun pada Selasa, dan naik lagi pada Rabu. Sentimen terperangkap antara pasar saham lesu, yang mengharapkan koreksi pada September-Oktober, dan pasar obligasi lesu, yang mempertimbangkan Bank Sentral AS mengurangi pembelian aset sebelum akhir tahun. Kebuntuan kemungkinan berlanjut hingga pertemuan Komisi Pasar Terbuka Federal (FOMC) pekan depan, pada 22 September. Sama seperti data manufaktur AS, yang mengangkat sentimen kemarin, penjualan ritel Agustus (konsensus ibu -0,7% vs -1,1% sebelumnya) dapat menekan gairah hari ini.

Tingkat pengangguran Australia bermakna penting bagi dolar Australia pada hari ini. Konsensus mengharapkan varian Delta mengangkat tingkat pengangguran menjadi 5,0% pada Agustus dari 4,6% pada Juli. Peningkatan tersebut diperingatkan dalam pidato Gubernur Bank Sentral Australia Philip Lowe pada Selasa. Dr Lowe menegaskan bahwa suku bunga tidak akan naik hingga 2024 kecuali jika pertumbuhan upah kembali di atas 3% dan mempertahankan inflasi di kisaran target 2% hingga 3%. Ia menilai bahwa pemerintah berpeluang lebih baik ketimbang bank sentral untuk mengatasi masalah pajak struktural selain suku bunga rendah yang memicu sektor properti berkinerja baik.

Dolar Australia kembali ke kisaran 0,73-0,74, yang terlihat antara pertengahan Juli dan pertengahan Agustus, dengan bias pergerakan negatif. Sesuai data CFTC, spekulan pertama kali melakukan jual bersih (net short) dolar Australia pada Juni, yang mereka akumulasikan secara agresif setelah perbedaan imbal hasil obligasi 10-tahun Australia-AS berubah menjadi negatif pada Juli. Pelambungan dolar Australia, dari 0,71 ke 0,75 antara 20 Agustus dan 3 September, dianggap sebagai peningkatan melegakan, yang dipicu penyempitan perbedaan imbal hasil menjadi -5 basis poin (bps) dari -18 bps. Dalam keadaan seperti ini, selisih imbal hasil kemungkinan tetap negatif.

Radhika Rao​ Economist radhikarao@dbs.com

Philip Wee FX Strategist philipwee@dbs.com

(Release)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *