
trenddjakarta.com – Kekristenan, sebagai salah satu agama di dunia, memiliki berbagai ekspresi yang berbeda tergantung pada situasi sosial dan budaya. Dua wajah utama yang sering muncul adalah Kristen formal dan Kristen substansial. Kristen formal lebih menekankan pada institusi, ritual, dan identitas eksternal. Sementara Kristen substansial menekankan pada transformasi batin, etika hidup, dan relasi personal dengan Kristus. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah iman Kristen lebih di tentukan oleh bentuk lahiriah atau oleh substansi rohaniah yang menghidupi bentuk tersebut?
Alkitab memberikan panduan yang jelas mengenai pentingnya substansi iman. Dalam Yesaya 29:13, Tuhan mengkritik bangsa Israel yang hanya mendekat dengan mulut dan memuliakan dengan bibir, padahal hati mereka jauh dari-Nya. Ini menunjukkan bahwa Tuhan menginginkan hubungan yang lebih dalam daripada sekadar ritual. Yohanes 4:23-24 menekankan penyembahan dalam roh dan kebenaran, menandakan bahwa penyembahan sejati melibatkan hati dan roh, bukan hanya tindakan lahiriah. Yakobus 1:27 menegaskan bahwa ibadah murni adalah memperhatikan yatim-piatu dan janda, menekankan tindakan nyata dari iman.
Tradisi gereja juga memberikan wawasan penting. Agustinus, misalnya, menekankan bahwa signum (tanda) harus menunjuk pada res (realitas), dan ritual tanpa iman adalah kosong. Reformasi Protestan, dengan prinsip sola fide, menekankan iman yang hidup, bukan sekadar keanggotaan gereja. Teologi kontemporer lebih fokus pada praxis dalam keadilan sosial, bukan sekadar liturgi.
Iman yang Hidup atau Sekadar Formalitas?
Kristen formal di tentukan oleh baptisan, keanggotaan gereja, dan partisipasi ritual. Orientasinya menekankan struktur, hukum, dan simbol. Bahayanya adalah menjadi legalistik, ritualistik, dan kehilangan makna. Namun, kekuatannya adalah menjaga kesinambungan tradisi, keteraturan, dan kesatuan.
Sebaliknya, Kristen substansial di tentukan oleh relasi pribadi dengan Kristus dan buah Roh. Orientasinya menekankan transformasi batin, kasih, dan etika. Bahayanya adalah menjadi subjektif, anti-institusional, dan berpotensi individualistik. Namun, kekuatannya adalah menghidupkan iman, relevan, dan membawa perubahan sosial.
Kekristenan tidak bisa sepenuhnya menolak bentuk seperti sakramen, liturgi, dan organisasi. Namun, bentuk harus selalu di topang oleh substansi iman. Bentuk tanpa substansi dapat menjadi kosong dan kehilangan makna. Reduksi ke formalitas dapat membuat menjadi sekadar identitas sosial. Sebaliknya, reduksi ke substansi tanpa bentuk dapat membuat iman kehilangan komunitas dan disiplin. Keduanya memiliki bahaya masing-masing yang harus di hindari.
Gereja dipanggil untuk menjaga forma sebagai wadah, namun memastikan substantia tetap menjadi inti. Keseimbangan ini penting untuk menjaga keaslian iman dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi gereja, reformasi liturgi agar bermakna, bukan sekadar rutinitas, dan pendidikan yang menekankan transformasi hidup sangat penting. Bagi individu, menguji diri apakah iman hanya formalitas atau sungguh mengubah karakter. Serta mengintegrasikan iman dengan etika sosial (keadilan, kasih, perdamaian) adalah langkah yang perlu di ambil. Bagi masyarakat, Kristen substansial mendorong kontribusi nyata dalam kehidupan publik. Sementara Kristen formal berisiko menjadi sekadar label identitas tanpa dampak sosial.
Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat mengarahkan praktik kekristenan menuju pembaruan iman yang otentik dan relevan.(***)
Sumber :