Survei HCC: 7 dari 10 Responden Tak Berniat Kurangi Makanan Berlemak Selama Puasa

trenddjakarta.com – Jakarta, Penelitian survei dari Health Collaborative Center (HCC) menunjukkan indeks keinginan berperilaku makan berkelanjutan (sustainable eating intention index) jelang puasa tahun ini cenderung rendah. Menurut Peneliti Utama dan Ketua HCC Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, studi Sustainable Eating Intention Index yang dilakukan pada 2531 responden ini menunjukkan total indeks responden mayoritas kearah tidak sustainable.

Hal ini terlihat dari delapan item sustainabile eating yang menjadi standar global, secara total statistik memperlihatkan angka diluar rentang yang bisa dikategorikan sustainable atau berkelanjutan. “Perilaku yang paling tidak sustainable adalah aspek pilihan jenis dan bahan makanan yang secara mayoritas responden berniat tetap ingin mengonsumsi makanan dari daging, serta diolah dengan minyak olahan. Menurut konsep pangan berkelanjutan, memang sebaiknya pola konsumsi yang kaya dengan ikan atau nabati dinilai lebih sustainable. Namun studi kami ini menunjukkan jelang puasa ini masyarakat masih berniat untuk mempertahankan pola dan bentuk makan yang sama bahkan cenderung lebih banyak daging dan olahan dengan minyak”.

Namun Ray mengungkapkan ada beberapa temuan indeks pola makan berkelanjutan yang dikategorikan baik, salah satu yang secara statistik signifikan adalah niat atau intensi responden untuk bersikap menyimpan kelebihan makanan pada saat buka puasa dan menjadikannya sebagai menu sahur serta keinginan untuk lebih banyak minum air putih dan atau air mineral dibanding air mengandung gula atau minuman manis. “Ini adalah sikap dan niat atau intensi yang konsisten dengan salah satu sustainable eating index yaitu ‘cut the waste’ atau mengurangi kecenderungan membuang sisa makanan. Bahkan analisis lanjutan memperlihatkan mayoritas orang Indonesia yang diwakili oleh responden pada survei ini secara tegas mengatakan sangat setuju untuk menyimpan kelebihan makanan yang biasanya sering terjadi pada saat buka puasa dan mengungkapkan pasti akan dikonsumsi untuk sahur. Indeks intensi ini sangat dominan sehingga bisa diinterpretasikan bahwa responden yang berpuasa akan memilih untuk tidak banyak food waste selama puasa”.

“Begitupun dengan niat lebih banyak minum air putih dan atau air mineral, ini adalah intensi yang baik karena minuman manis atau bersoda dan minuman mengandung gula tinggi dikategorikan sebagai tidak sustainable karena selain mengakibatkan potensi risiko kesehatan juga asupan minuman manis atau mengandung gula tinggi terkait dengan pengolahan yang tidak berkelanjutan juga”, tegas Ray.

Menurut Ray ada beberapa aspek kunci yang menyebabkan indeks sustainable eating menjadi rendah. “Ada korelasi antara ketersediaan dan stok bahan pangan serta akses dan kemampuan membeli bahan pangan dengan total sustainable eating index, dengan kekuatan korelasi sedang. Artinya responden khawatir kalau berniat mengganti kebiasaan makan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan tetapi nanti stok ikan atau sayur atau pangan ramah lingkungan malah tidak bisa tersedia dan bahkan mungkin harga akan lebih mahal saat bulan puasa”, ungkap Ray yang sering memberi edukasi di Instagram @ray.w.basrowi

Tim peneliti HCC yang diperkuat oleh Research Associate Yoli Faradika ini merekomendasikan pentingnya untuk mengapreseasi beberapa intensi dan sikap positif terkait pola makan berkelanjutan selama bulan puasa ini, apalagi studi ini secara metodologi memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi atau confident interval 95% dan margin of error rendah (1,95%). Sebaliknya beberapa indeks perilaku makan yang cenderung tidak berkelanjutan seperti kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan dengan olahan minyak, harus dimitigasi agar tidak memberi dampak Kesehatan yang tidak baik juga.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *