trenddjakarta.com, Jakarta, 8 Januari 2025 – Ketimpangan di sektor kesehatan Indonesia terus menjadi tantangan besar. Dari distribusi tenaga medis, fasilitas kesehatan, hingga penyalahgunaan obat-obatan. Masalah ini berdampak luas, terutama di daerah terpencil yang minim akses layanan kesehatan. Bagaimana kita bisa menghadirkan solusi yang merata dan berkelanjutan?
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) apt. Noffendri Roestam, S.Si., mengungkap fakta mengejutkan dalam sebuah siniar kesehatan, “Sebanyak 60 persen apoteker terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara sisanya tersebar di seluruh Indonesia. Pola ini juga terlihat di tingkat provinsi. Di mana mayoritas apoteker praktik di ibu kota di bandingkan kabupaten atau kota lainnya.” Hingga Oktober 2024, Indonesia memiliki 106.000 apoteker, tetapi distribusi yang tidak merata menghambat layanan kesehatan di banyak wilayah.
Setiap tahun, sekitar 12.000 apoteker baru lulus dari 70 perguruan tinggi farmasi di Indonesia. Namun, tanpa insentif pemerintah untuk mendorong mereka mengabdi di daerah terpencil, pemerataan tenaga kesehatan tetap menjadi tantangan. “Kita berharap apoteker tidak hanya praktik di kota besar, tetapi juga menjangkau daerah yang membutuhkan,” tambah Noffendri.
Swamedikasi: Solusi di Tengah Keterbatasan
Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan, swamedikasi—pengobatan mandiri untuk gangguan kesehatan ringan—muncul sebagai alternatif penting. Menurut dr. Muhammad Fajri Adda’i, residen kardiologi dan dokter influencer. “Swamedikasi membantu masyarakat mengatasi gejala ringan sekaligus mengurangi beban fasilitas kesehatan.” Namun, edukasi menjadi kunci keberhasilan.
“Pembelian obat golongan bebas (tanda lingkaran hijau), dan bebas terbatas (tanda lingkaran biru) tanpa resep harus di lakukan dengan mematuhi aturan dosis di kemasan. Di karenakan penggunaan secara berlebihan dapat mengakibatkan efek samping kerusakan organ dalam,” jelas dr. Fajri. Ia juga menekankan pentingnya konsultasi tenaga kesehatan jika kondisi tidak membaik dalam tiga hari.
Potret Suram Penyalahgunaan Obat
Masalah ketimpangan fasilitas kesehatan belum juga selesai, kini muncul persoalan lain: penyalahgunaan obat-obatan oleh oknum di beberapa daerah. Obat-obatan yang pasokannya sudah terbatas malah di campur dengan minuman keras untuk menambah sensasi efek memabukkan dari minuman tersebut. Hal ini jelas semakin merugikan masyarakat yang membutuhkan obat untuk swamedikasi.
Hal ini di sorot secara khusus di siniar tersebut oleh Psikolog Klinis Anak dan Keluarga, Irma Gustiana Andriyani, S.Psi., M.Psi. Yang menyebutkan bahwa remaja menjadi kelompok paling rentan. “Otak remaja belum sempurna proses perkembangannya, sehingga belum dapat mengukur risiko dan sering bertindak impulsif. Selain itu, upaya konformitas dengan teman sebaya juga memberikan kecenderungan melakukan hal-hal yang kurang bijak,” ungkap Irma Gustiana.
Ia menambahkan minimnya edukasi dari keluarga, sekolah, dan lingkungan memperburuk situasi ini. “Kurangnya pengetahuan dasar mengenai hidup sehat dan penggunaan obat yang aman di rumah dan di sekolah memberikan celah bagi remaja untuk mencoba hal-hal berbahaya, termasuk penyalahgunaan obat. Perlu keterlibatan banyak pihak, bukan hanya keluarga. Yaitu anggota masyarakat, pemerintah juga sekolah untuk memberikan edukasi terkait penggunaan obat yang bijak sejak usia dini,” jelasnya.
Namun, sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab masih tetap ada dan mencari kesempatan penyalahgunaan. Apabila peredaran obat di batasi tentu salah satu konsekuensinya mempersulit akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Pada praktiknya, untuk membatasi penyalahgunaan obat, sering kali di lakukan upaya penegakan hukum berupa razia terhadap apotek di beberapa tempat, namun, langkah ini pun tidak lepas dari problema.
Noffendri Roestam menilai razia sebenarnya tidak tepat di lakukan pada apotek dan toko obat. “Apotek dan toko obat beroperasi dengan regulasi dan dalam pengawasan dinas kesehatan dan balai POM daerahnya. Sehingga jika ada pelanggaran tentunya yang menindak adalah kedua badan tersebut di daerah masing-masing. Karena itu razia yang di lakukan di apotek dan toko obat, sama sekali tidak tepat. Apotek adalah sarana distribusi kefarmasian, bukan diskotek atau tempat nongkrong yang ada kemungkinan penyalahgunaan, kenapa harus di lakukan razia?”
Ia juga menambahka. “Jika kita tilik lebih dalam tentang bagaimana cara oknum mendapatkan obat untuk di salahgunakan, umumnya bukan di distributor resmi, melainkan pengedar obat tidak resmi atau malah gelap. Mungkin itu yang harusnya jadi fokus penindakan, bukan razia ke sarana distribusi kefarmasian.”
Di dalam siniar ini, ketiga pembicara sepakat bahwa untuk menghadapi berbagai tantangan ini. Di perlukan solusi komprehensif yang melibatkan semua pihak dan memperhatikan berbagai faktor yang mencakup beberapa strategi. Seperti edukasi kepada masyarakat secara komprehensif agar meningkatkan pengetahuan tentang pedoman swamedikasi dan penggunaan obat yang aman, percepatan dan penyederhanaan proses izin apotek. Guna untuk memastikan akses masyarakat di seluruh wilayah Indonesia untuk swamedikasi dan pemerataan infrastruktur kesehatan. Seperti sarana pelayanan kefarmasian dan tenaga kefarmasian. Sumbangsih setiap elemen masyarakat di butuhkan agar solusi yang berkelanjutan bisa berdampak luas.
“Harapannya solusi yang di berikan harus sustainable. Optimalisasi peran Puskesmas dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk permasalahan yang kita hadapi. Dengan pendekatan kolaboratif, Indonesia di harapkan dapat menciptakan sistem kesehatan yang merata, aman dan berkelanjutan untuk seluruh lapisan masyarakat,” pungkas Noffendri.
(***)